Minggu Terakhir Februari
Kemarin malam (26/02) aku kalap terenggut emosiku sendiri. Aku diam-diam mencintai orang yang aku pikir hanya aku kagumi. Sudah lama memang aku mengamatinya, tapi aku bertahan untuk tetap jauh. Aku pikir, mendekatpun tak akan ada gunanya. Apa gunanya mendekat, jika dari jauhpun sudah bisa kunikmati. Tapi ternyata aku salah. Ketika pada suatu hari aku mendapat suatu kebetulan untuk bicara dengannya, rasanya lebih dari itu. Indahnya lebih dari itu. Dia begitu menyenangkan. Oh, Tuhan, dia hadir begitu terlambat, atau salahku yang tak pernah berani mendekat?
Dia lebih indah dari yang aku lihat. Jiwanya lebih cantik dari yang aku bayangkan. Ada yang memancar dari dalam dirinya. Ada yang menarikku tenggelam ke dalam hatinya. Aku tenggelam lalu jatuh cinta. Dia amat hangat hingga aku merasa akrab. Ada yang terhubung, seperti sesuatu yang dialiri listrik kemudian menyala. Tapi tunggu, dia merasakan itu juga, atau hanya aku saja?
Aku menanti ponselku berbunyi. Jariku bergerak lincah, sangat cepat. Dia protes. Hahahaha. Aku mengetik terlalu cepat katanya. Harusnya dia tahu, itu karena aku terlalu bersemangat. Semangatku datang dari rindu. Rindu akibat aku mengurung diriku jauh darimu. Lima tahun aku hanya mengamati, memuja, dan baru kusadari ternyata juga mencinta. Dia memompa jantungku, kuat. Aku yakin, sejak hari itu aku yakin, cerita ini akan berlanjut dan inilah awalnya.
Bicara awal, tentu ada akhir. Terlalu cepat? Ya, memang. Aku bahkan tidak percaya. Menangispun aku tidak sempat. Hatiku menolak untuk sakit. Aku ingin menjerit, memekik kuat tanpa batas. Mencerca namanya sesukaku. Tapi apa yang aku lakukan? Aku hanya diam tanpa rasa. Diam, menunggu dia mengirim kata pengantar tidur seperti kemarin malam. Masih diam, lalu aku tertidur.
Aku terbangun dengan mata sembab. Air mata mengering di pipi dan sudut mata. Apa aku menangis dalam tidur? Aku terduduk, tak tau bagaimana harus bersikap. Datar, sekejap setelah membaca pesanmu. Kuulangi lagi, kubaca lagi. Tawar. Aku tahu kalimat itu indah. Kalimat dari tulisan hebatmu yang aku elukan, sesaat sebelum aku tahu suatu fakta mengerikan. Fakta kau akan bersanding dengan seorang wanita selamanya dan wanita itu bukanlah aku. Pagiku rusak, kujalani tanpa rasa, tanpa hati.
Pagi itu hujan. Aku masih saja diam. Mengingat betapa bodohnya aku kemarin bisa begitu yakin bahwa kaulah pilihanku. Di tengah kabut kulihat kata-katamu menari menguak memori. Bukan itu yang kau katakan padaku. Tidak seperti itu. Aku pikir, meski terlambat aku masih punya kesempatan. Kalau sudah begini, tentu jawabnya tidak. Aku menangis tidak dengan mataku. Aku menangis lewat hujan.
Malam ini aku merenung. Memaksa diriku sendiri untuk meletakkan dia kembali ke posisi semula. Tapi dia begitu lekat, berat. Aku menyerah lalu berlari ke dalam matanya. Aku lihat dia diam kaku sambil melihatku. Hanya sebuah foto tapi rasanya nyata. Perlahan aku merasakan sesuatu. Ada yang mencair di dalam dadaku. Egoku.
Ada yang salah padaku. Dia menanggapiku dengan baik, di mana letak kesalahannya? Dia menyemangatiku, apa salahnya? Dia masih melihatku, tersenyum. Sungguh senyum itu memudarkan marahku. Seandainya dia ada di sini sekarang, nyata dirinya di depanku, mungkin aku akan.......... Sudahlah.
Aku mengagumi karena aku tahu dia pantas. Aku merindu karena aku percaya dia pantas. Dia ada bukan untuk kubenci. Dia datang bukan untuk kucoba lupakan. Dia hadir untuk mengisi minggu terakhir Februariku. Melukis hatiku.
Hari itu, 28 Oktober 2008 dia datang, lalu pergi. Siapa sangka 26 Februari 2014 dia datang lagi. Hari esok selalu menjadi misteri...
Terima kasih 25 Juli. :)
Dia lebih indah dari yang aku lihat. Jiwanya lebih cantik dari yang aku bayangkan. Ada yang memancar dari dalam dirinya. Ada yang menarikku tenggelam ke dalam hatinya. Aku tenggelam lalu jatuh cinta. Dia amat hangat hingga aku merasa akrab. Ada yang terhubung, seperti sesuatu yang dialiri listrik kemudian menyala. Tapi tunggu, dia merasakan itu juga, atau hanya aku saja?
Aku menanti ponselku berbunyi. Jariku bergerak lincah, sangat cepat. Dia protes. Hahahaha. Aku mengetik terlalu cepat katanya. Harusnya dia tahu, itu karena aku terlalu bersemangat. Semangatku datang dari rindu. Rindu akibat aku mengurung diriku jauh darimu. Lima tahun aku hanya mengamati, memuja, dan baru kusadari ternyata juga mencinta. Dia memompa jantungku, kuat. Aku yakin, sejak hari itu aku yakin, cerita ini akan berlanjut dan inilah awalnya.
Bicara awal, tentu ada akhir. Terlalu cepat? Ya, memang. Aku bahkan tidak percaya. Menangispun aku tidak sempat. Hatiku menolak untuk sakit. Aku ingin menjerit, memekik kuat tanpa batas. Mencerca namanya sesukaku. Tapi apa yang aku lakukan? Aku hanya diam tanpa rasa. Diam, menunggu dia mengirim kata pengantar tidur seperti kemarin malam. Masih diam, lalu aku tertidur.
Aku terbangun dengan mata sembab. Air mata mengering di pipi dan sudut mata. Apa aku menangis dalam tidur? Aku terduduk, tak tau bagaimana harus bersikap. Datar, sekejap setelah membaca pesanmu. Kuulangi lagi, kubaca lagi. Tawar. Aku tahu kalimat itu indah. Kalimat dari tulisan hebatmu yang aku elukan, sesaat sebelum aku tahu suatu fakta mengerikan. Fakta kau akan bersanding dengan seorang wanita selamanya dan wanita itu bukanlah aku. Pagiku rusak, kujalani tanpa rasa, tanpa hati.
Pagi itu hujan. Aku masih saja diam. Mengingat betapa bodohnya aku kemarin bisa begitu yakin bahwa kaulah pilihanku. Di tengah kabut kulihat kata-katamu menari menguak memori. Bukan itu yang kau katakan padaku. Tidak seperti itu. Aku pikir, meski terlambat aku masih punya kesempatan. Kalau sudah begini, tentu jawabnya tidak. Aku menangis tidak dengan mataku. Aku menangis lewat hujan.
Malam ini aku merenung. Memaksa diriku sendiri untuk meletakkan dia kembali ke posisi semula. Tapi dia begitu lekat, berat. Aku menyerah lalu berlari ke dalam matanya. Aku lihat dia diam kaku sambil melihatku. Hanya sebuah foto tapi rasanya nyata. Perlahan aku merasakan sesuatu. Ada yang mencair di dalam dadaku. Egoku.
Ada yang salah padaku. Dia menanggapiku dengan baik, di mana letak kesalahannya? Dia menyemangatiku, apa salahnya? Dia masih melihatku, tersenyum. Sungguh senyum itu memudarkan marahku. Seandainya dia ada di sini sekarang, nyata dirinya di depanku, mungkin aku akan.......... Sudahlah.
Aku mengagumi karena aku tahu dia pantas. Aku merindu karena aku percaya dia pantas. Dia ada bukan untuk kubenci. Dia datang bukan untuk kucoba lupakan. Dia hadir untuk mengisi minggu terakhir Februariku. Melukis hatiku.
Hari itu, 28 Oktober 2008 dia datang, lalu pergi. Siapa sangka 26 Februari 2014 dia datang lagi. Hari esok selalu menjadi misteri...
Terima kasih 25 Juli. :)
Comments
Post a Comment